12 April 2009

Bagi sebagian orang perkawinan ibarat berjudi. Kalaupun pendapat itu benar, aku termasuk yang beruntung, karena aku menikah dengan seorang wanita yang layak kubanggakan. Bersamanya – Anastasia Siti Suliyah (80) – aku dapat menghantar anak-anak ke jenjang kehidupan yang mapan.

Di usiaku yang ke sembilan puluh satu, aku sungguh merasakan nikmat yang telah diberikan Tuhan dalam kehidupan rumah tangga kami. Apalagi tahun ini aku dan istriku telah enam puluh lima tahun menjadi pasangan suami istri.

Manis getirnya berumah tangga tentu sudah kami rasakan bersama. Badai kehidupan pun tak luput menghantam bahtera perkawinan kami. Tetapi semua itu kami bisa lalui dengan selamat. Hal ini kuyakini sebagai anugerah Tuhan yang sangat berharga. Bila ada orang yang bertanya kepadaku, apa resepnya hingga perkawinan kami bisa seawet ini, akan kujawab : “Kuncinya adalah doa, sehingga kami bisa terhindar dari pertengkaran hebat dalam perkawinan ini”.

Dijodohkan


Namaku R.F.J. Dirdjosoemarto. Pada usia dua puluh lima tahun aku bertemu Suliyah. Mulanya aku sering bermalam di rumah kakaknya, yang kebetulan teman akrabku. Suatu hari sambil bergurau temanku itu bertanya kepadaku, “Apa kamu sudah punya sandingan hidup?”. Karena belum punya, kukatakan saja apa adanya. Kemudian ia “menawarkan”, “Bagaimana kalau dengan adikku?”. Aku mau saja.

Setelah mengalami masa perkenalan selama setahun, aku melamar Suliyah pada orang-tuannya. Tentu berbeda dengan gaya berpacaran orang-orang pada zaman sekarang., seingatku aku hanya pernah pergi dengannya satu kali saja sebelum menikah.

Tanggal 1 Desember 1928 merupakan hari bersejarah bagi kami. Aku menikahi Suliyah. Usianya kala itu masih empat belas tahun. Sedangkan usiaku 26 tahun. Kami menikah di Gereja Purbayan, Solo, dihadapan Pastor Koch, SJ – setelah Suliyah menjadi katolik.

Sesudah menikah Suliyah kubawa ke Tawangsari, Solo. Ia kerap menangis karena kangen pada orang tuanya. Aku bisa memahami hal ini. Karena ia masih sangat muda. Kuanggap dia sebagai adikku sendiri. Sehingga dalam banyak hal aku harus membimbingnya.

Sesuai dengan cita-citaku, sebelum menikah aku sudah punya rumah dengan perabotnya. Aku tak ingin menikah tanpa persiapan. Memang sejak tiga tahun sebelumnya aku sudah menjadi guru Sekolah Ongko Loro. Penghasilanku pun cukup baik untuk ukuran zaman itu. Sehingga di awal perkawinan kami Suliyah tidak perlu pusing mengatur uang. Bahkan aku masih bisa mengirim uang untuk mertua.

Mendampingi Persalinan


Ketika istriku hami anak pertama aku dipindahtugaskan ke Purbalingga, Banyumas. Di usianya yang ke lima belas Suliyah sudah menjadi ibu. Untuk dia sudah terbiasa menjaga adik-adiknya. Demikianlah tahun demi tahun anak-anak kami bertambah. Hingga jumlahnya dua belas orang. Jarak usia mereka rata-rata terpaut antara dua sampai tiga tahun saja. Bisa dibayangkan, betapa repotnya kami mendidik mereka.

Sebagai ayah aku selalu mendampingi istriku selama persalinan anak-anak. Kebetulan aku pernah mempelajari secara khusus cara-cara persalinan. Jadi, aku tak pernah gentar sedikitpun kendati harus melihat banyak darah.

Kehidupan rumah tanggaku terus bergulir seirama waktu. Kemudian kami tinggal di daerah Baturetno, Wonogiri. Semuanya merasa menyenangkan hingga suatu hari di tahun 1945 kami dirampok sekawanan orang. Dalam sekejap raiblah harta berharga kami. Mulai saat itu kehidupan keluargaku mulai mengalami kesulitan.

Aku juga mengalami sengsaranya masa perang. Di jaman penjajahan Jepang aku pernah tidak mendapat gaji selama empat tahun. Padahal sebelumnya aku sudah diangkat menjadi Kepala Sekolah. Selain itu aku terpaksa angkat senjata di Cipinang, Jakarta. Sementara harta kami semakin habis.

Namun Suliyah termasuk wanita yang tahan uji. Ia bisa mengambil alih mencari nafkah. Ia menjadi pedagang ayam. Dengan cara itu rumah tangga kami tetap bertahan. Walaupun untuk makan saja sulit.

(Disalin ulang dari : Majalah HIDUP tanggal 21 Agustus 1994)